Senin, 28 Maret 2011

Sistem Pendidikan Di Indonesia

Sistem pendidikan yang diterapkan dibanyak negara, banyak yang salah kaprah. India yang begitu banyak menghasilkan pekerja kerah putih, juga dikritik melalui film yang lumayan apik berjudul 'three idiots'.

Kesalahan terbesar dari sistem pendidikan adalah buta dan tuli terhadap kenyataan dan suara konsumen. Saya sebagai salah satu 'korban' pendidikan, sudah membuktikan bahwa dari begitu banyak tahun dan jam dihabiskan untuk belajar, pada akhirnya yang digunakan sangatlah rendah sekali persentasenya. Tidak sampai 10% padahal saya bekerja dibidang yang sesuai dengan sekolah saya. Bayangkan Insinyur sipil yang bekerja jadi marketing bank.

Apa kesalahan terbesar dari sistem pendidikan sekarang? Sistem yang kita pakai sekarang dengan istilah apapun CBSA, belajar mandiri, dsb, lebih mengutamakan output bukan proses. Dalam industry manufaktur pola demikian itu sudah lama ditinggalkan karena banyak waste dan yield rendah. Ironisnya justru masih dipakai didalam sistem pendidikan.

Yang terutama harus dibentuk itu adalah pola pikir dan penalaran. Otak manusia didesain untuk berpikir, bernalar dan berlogika. Ingatan hanyalah sebuah konsekuensi.

Saya ingat ketika belajar di SD, begitu banyak pelajaran yang dianggap dasar yang berusaha dijejalkan dikepala kita. Ingatan kita dipaksa untuk menghafalkan berbagai data2 yang kita sendiri pada saat itu tidak tahu gunanya untuk apa. Saat mengambil master, malah saya tidak perlu menghafal segala sesuatu karena text book hanyalah menjadi referensi saja. Kenapa pola belajar dan cara mencari tahu atau mencari ilmu dan menalar sesuatu, menganalisa sesuatu tidak diajarkan mulai SD? Mengapa justru SD doktrinasi begitu kencang?

Bahkan ketika melakukan research untuk level doctorate, tidak semenderita anak2 SD yang dipaksa2 menghafal ( karena tidak sesuai fungsi otak) hal2 yang pada akhirnya hanya akan diingat 1-2% saja. Anda tahu tidak kuis yang mengadu orang dewasa dengan anak kelas 5 SD itu adalah bukti nyata bahwa sistem pendidikan doktrinasi itu terlalu ineffisien dan ineffective.

Coba apa gunanya pelajaran bahasa daerah atau pelajaran budi pekerti atau pelajaran geografi? Bahkan apa gunanya menghafalkan nama2 9 planet yang mengelilingi matahari, ketika akhirnya kita tahu bahwa 9 itu karena kita mampunya saat itu baru tahu yang 9 itu saja, ternyata ada lagi setelah teknologi lebih maju.

Mengenai penilaian jg demikian. Pemberian nilai tsb boleh dilakukan tapi sampai digunakan menentukan naik kelas dan tidak naik kelas itu seharusnya tidak perlu. Apalagi pada anak2 kecil. Hal ini memberikan trauma yang membuatnya tidak kreative atau malah menghancurkan mental anak yang tidak naik kelas karena diajarkan sekali gagal tidak bisa lagi mengejar teman2nya kecuali temannya juga gagal. Mengapa saat kuliah sistemnya tidak demikian? Tidak raportan dan kelulusan tidak ditentukan dari nilai rata2 yang bila tidak lulus harus mengulang keseluruhan? Anak SD gara2 matematika dan ipa nya jeblok dan tidak lulus, harus mengulang keseluruhan pelajaran selama setahun tanpa bisa lagi sekelas dengan teman2nya yang duluan lulus. Sistem yang sangat jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar